Reklamasi Dalam Pandangan Islam
Berdasarkan sifat fisik gugusan pulau-pulau yang
terdiri atas kurang lebih 17.508 pulau besar dan pulau kecil dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km telah membentuk wilayah Negara Republik Indonesia
yang disebut sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State). Gugusan
pulau-pulau tersebut membentang sepanjang jalur Khatulistiwa dengan semua
sifat-sifat alami yang terkandung di dalamnya. Jumlah pu;au kecil dan pulau
besar, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni, yang kaya akan sumber
maupun yang miskin akan sumber daya, yang padat penduduk maupun yang kurang
padat, akan mempengaruhi sifat dan bentuk kegiatan penduduknya yang pada
gilirannya akan dapat mengakibatkan bentuk permasalahan yang berbeda-beda dari
satu pulau ke pulau lainnya.
Indonesia juga memiliki peran strategis untuk
berbagai kepentingan baik ekonomi, ekologi, sosial, bahkan pertahanan. Wilayah
Indonesia segi ekomoni memiliki ekonomi yang cukup besar terutama dari kekayaan
sumber daya alam (SDM), baik yang sifatnya hayati, maupun yang non hayati.
Sementara dari ekologi, Indonesia dikenal sebagai Mega Biodiversuty State, karena
memiliki potensi ekosistem laut terbesar di dunia.
Berdasarkan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017 tentang
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau kecil juncto Undang-Undang No. 1
Tahun 2014 tentang pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau kecil, pemerintah
mengatur pelaksanaan reklamasi pantai guna meningkatkan manfaat dan nilai
tambah wilayah pesisir dan pulau kecil yang ditinjau dari aspek hukum, dan
lingkungan. Kawasan dari hasil reklamasi biasanya dimanfaatkan untuk kawasan
pertanian, pemukiman, perindustrian, pertokoan atau bisnis, dan objek wisata.
Namun, dalam pelaksanaan reklamasi memberikan
fakta bahwa memberikan dampak buruk terhadap kualitas lingkungan hidup serta
menimbulkan berbagai permasalahan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di
daerah tersebut dan menjadi perbincangan public seperti kasus di kota Bandar
Lampung dan di Teluk Jakarta. Dan ini menjadi sorotan dari berbagai ulama di
Indonesia untuk mengkaji lebih dalam tentang Reklamasi di dalam prospektif
islam,
Pengertian reklamasi
Pengertian reklamasi berasal dari kosa kata
dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang
rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional, disebut arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam
kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan
memperoleh tanah. Ada beberapa
tokoh yang mendifinisikan tentang reklamasi ini sebagai berikut, Save
M. Dagun mengatakan Pengertian reklamasi adalah pemanfaatan lahan yang tidak ekonomis sebagai kepentingan pemukiman,
pertanian, industry, rekreasi, dan yang lainnya yang mencakup pengawetan tanah,
pengawetan sumber air, pembebasan tanah tandus, drainase daerah rawa atau
tandus, drainase daerah rawa atau lembah dan proyek pasang surut. Pengertian reklamsi menurut UU 27 Tahun
2007 adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber
daya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengukuran, pengeringan lahan atau drainase.
Pengertian reklamasi menurut Wisnu
Sauharto adalah suatu pekerjaan/usaha manfaatkan kawasan atau lahan yang
relative tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna
dengan cara dikeringkan. Pada dasarnya reklamasi merupakan aktifitas mengubah
wilayah perairan pantai menjadi daratan yang dimaksudkan untuk mengubah
permukaan tanah yang rendah untuk dijadikan lebih tinggi.
Tujuan dan manfaat Reklamasi
Tujuan dari
adanya reklamasi menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Reklamasi
Pantai yaitu untuk menjadikan kawasan berair yang rusak atau belum
termanfaatkan menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat.
Kawasan daratan baru terebut dapat dimanfaatkan
untuj kawasan permukiman, perindustrian jalur transportasi alternatif,
reservoir air tawar ddi pingir pantai, kawasan pengelolaan limbah dan
lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama limbah dan
lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan aman dari ancaman
abrasi serta untuk menjadikan suatu kawasan wisata terpadu.
Namun menurut
perencanaan kota, tujuan dari reklamasi pantai merupakan salah satu langkah
pengembangan kota. Reklamasi diamalkan oleh Negara atau kota-kota besar yang laju
pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami
kendala dengan semakin menyempitnya
lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota kea
rah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru.
Adapun kebutuhan dan manfaat reklamasi dapat
dilihat dari aspek tata guna lahan, ekonomi, sosial dan lingkungan. dari aspek
tata guna lahan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari aspek tata ruang, suatu
wilayah tertentu perlu direklamasi agar dapat berdaya dan memiliki hasil guna.
Untuk pantai yang diorientasikan bagi pelabuhan, indutri, wisata atau pemukiman
yang perairab pantainya dangkal wajib untuk direklamasi agar bisa dimanfaatkan.
Terlebih kalau di era pelabuhan, reklamasi menjadi kebutuhan mutlak untuk
pengembangan fasilitas pelabuhan, tempat bersandar kapal, pelabuhan peti-peti kontainer,
pergudangan dan sebagainya. Dalam perkembangan pelabuhan ekspor-impor saat ini
menjadi area yang sangat luas dan berkembangnya industry karena pabrik, modal
angkutan, pergudangan yang memiliki pangsa ekspor-impor lebih memilih tempat
yang berada di lokasi pelabuhan karena ekonomis dan mampu memotong biaya
trasportasi. Aspek perekonomian adalah kebutuhan lahan akan pemukiman, semakin
mahalnya daratan dan menipisnya daya dukung lingkunagn di darat menjadi
reklamasi sebagai pilihan bagi Negara maju atau kota metropolitan dalam
memperluas lahannya guna memenuhi kebutuhan akan pemukiman.akan pemukiman.
Dari aspek sosial, reklamasi bertujuan mengurangi kepadatan yang
menumpuk di kota dan menciptakan wilayah yang bebas dari penggusuran karena
berada di wilayah yang sudah disediakan oleh pemerintah dan pengembang, tidak
berada di bantaran sungai maupun pantai. Aspek lingkungan berupa konservasi
wilayah pantai, pada kasus tertentu dikawasan pantai karena perubahan popla
arus di air laut mengalami abrasi, akresi ataupun erosi. Reklamasi dilakukan di
wilayah pantai ini guna mengembalikan konfigurasi pantau yang terkena tiga
permasalahan tersebut ke bentuk semula.
Berbicara kepentingan reklamasi, sejatinya
setiap persoalan pembangunan di Negara dunia ketiga tidak terlepas dari apa
yang disebut oleh David Harvey teoritis maxis terkenal sebagai upaya mengatasi
krisis overkumulasi dalam sistem kapitalisme. Krisis ini, mengganggap ketiadaan
kesempatan bagi yang menguntungkan sebagai problem yang fundamental. Ini
sejalan dengan kasus spotion-temporal fix yang mengajarkan ekspansi
geografis dari kapitalisme yang merupakan fondasi dari bayaknya aktifitas
imperalis untuk membukakan permintaan akan barang-barang invertasi maupun
barang konsumsi di berbagai tempat. Dengan begitu, sistem kapitalis medapat
stabil.
Dari sini, dapat
dipahami bahwa sejatinya mega proyek reklamasi hanya untuk memuaskan
kepentingan kapitalis, bukan untuk kepentingan masyarakat nelayang tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, semakin terbatasnya
ketersediaan lahan di kota-kota besar, ditambah lagi harganya yang membungbung
tinggi, menyebabkan para investor beralih ke lahan reklamasi. Terutama bagi
investor di sector property. Kedua kapitalis selalu menghendaki dan
mendorong penguasaan sumber daya secara eksklusif, termasuk teritori tertentu,
dengan menyulap menjadi “kota kaum elit”. Dalam konteks ini, alih-alih proyek
reklamasi untuk kepentingan public, justru akan mendorong privasisasi sumber
daya. Kawasan pantai yang dulu dapat dinikmati masyarakat luas, berubah menjadi
kawasan eksklusif untuk kepentingan kaum kapitalis semata. Kepentingan inilah
yang pantut menjadi kekhawatiran bersama.
Pandangan islam terhadap reklamasi
Dalam
konteks maqasid syari’ah, pemahaman yang literatur dan kontekstual
terhadap sumber-sumber ajaran agama tidak dapat menggambarkan hakikat ajaran
islam, sekalipun tidak dibenarkan juga mengabaikan hukum-hukum parsial yang muhkamat
dengan mengaku hanya memedomani ruh dan kemaslahatan ajaran islam semata. Dari
sini, melalui penggunaan prinsip-prinsip maqasid dan maslahat, konsep khalifatullah
fi al ardhi, taskhir, dan I’mar yang terlalu menempatkan manusia
sebagai penguasan alam oleh para mufasir klasik dan modern perlu direvitalisasi
ke dalam konsep holistic tentang konservasi lingkungan laut dan pantai dalam
tahap-tahap yang lebih ekologis. Konsep-konsep tersebut harus menjiwai dalam
perumusan fikih konservasi lingkungan, selai juga spirit islah dalam Al
Qur’an niscaya menjadi ruh yang menjiwai perumusan fikih ekologis dalam bidang
kelautan dan perikanan.
Al Qardawi
telah merumuskan ajaran tentang kewajiban pelestarian lingkungan sebagai bagian
integral yang tidak terpisahkan dari islam. Ia menginisiasi menefertasi ihsan
tidak terbatas pada kebaikan dalam
tataran ibadah, tetapi juga masuk dalam ranah ekologi yang berwujud dalam upaya
pelestarian dan konservasi lingkungan. Oleh sebab itu, sejatinya ajaran
normative agama dan prinsip-prinsip ri’ayat al bi’ah yang didalamnya
terkandung norma-norma yang sangat utama dan fundamental. Ini menunjukkan bahwa
pentingnya konservasi dalam konteks perlindungan lingkungan dan aspek-aspek
yang terkait dengan diharapkan menimbulkan kebajikan-kebajikan otentik yang
menjadi kearifan masyarakat peisisr dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Agama islam,
sebagaimana disebutkan Ibrahim Abdul Matin sebagai “Agama Hijau” (greendeen)
menuntut manusia untuk menerapkan islam seraya menegaskan hubungan integral
antara keimanan dan lingkungan (alam semseta) Dari sini, umat muslim harus menjadi garda
terdepan dalam membela kelestarian lingkungan sebagai bentuk implementasi
bagian integral ajaran islam itu sendiri. Islam tidak lagi dipandang
semata-mata hanya mengandung aspek teologis semata yang kemudian berhenti pada
proses syariah yang bersikan ajaran ibadah saja.tetapi lebih dari itu, spirit
keberislaman ditumbuhkan untuk turut menjaga lingkungan.
Islam sebagai agama ramah lingkungan merupakan
ajaran yang memuat etika lingkungan yang menitik beratkan pada paradigma relasi
menusia dengan lingkungan secara holistic. Artinya, manusia selain merupakan
bagian integral dari lingkungan, tetapi ia juga menyadari dirinya memiliki
pontensi akal untuk memanfaatkan alam secara bertanggung jawab. Ideologi holistic-intergalistik menawarkan satu sistem kehidupan berkesinambungan yang
menjadi pra syarat terwujudnya kehidupan berkelanjutan. Paradigma holistic
intergalistik ini menurut El Dasuqy dalam tulisanyya akan menjanjikan kearifan
lingkungan, yang layak untuk dikembangkan demi menggeser paradigm ekstrim ekosentrisme
atau inklusivisme, maupun paradigma antroposentrisme atau ekslusivisme.
Salah satu argumentasi reklamasi pantai adalah meningkatnya
kebutuhan dalam daerah. Kawasan reklamasi pantai merupakan kawasan hasil
perluasan daerah pesisir pantai melalui rekayasa teknis untuk pengembangan
kawasan baru. Kawasan reklamasi pantai termasuk dalam kategori kawasan yang
terletak di tepi pantai, dimana pertumbuhan dan perkembangannya baik secara
sosial, ekonomi, dan fisik sangat dipengaruhi oleh badan air laut.
Tata ruang kawasan reklamasi pantai harus
memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan budaya di kawasan rekalamsi, sebagai
berikut: pertama reklamasi pantai memberikan dampak perairan pada pola
kegiatan sosial, budaya dan ekonomi maupun habitat ruang perairan masyarakat
sebelum direklamasi. Perubahan terjadi haruslah menyesuaikan perairan fungsi
kawasan dan pola ruang lawasan dan perubahan tersebut berimplikasi pada
perubahan keterediaan jenis lapangan kerja baru dan bentuk
keragaman/diversifikasi usaha baru yang ditawarkan.kedua aspek sosial,
budaya, wisata dan ekonomi yang diakumulasikan dalam jaringan sosial, budaya,
pariwisata, dan ekonomi kawasan reklamasi pantai memanfaatkan runag perairan
atau pantai.
Sementara term fikih, dalam bahasa Arab diartikan sebagai
pemahaman. Secara terminologi, fikih merupakan sekumpulan hukum syar’i yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang spesifik. Gagasan fikih lingkungan dapat diartikan sebagai seperangkat norma-norma
tentang perilaku ekologis manusia yang ditetapkan oleh ulama berkompeten
berdasarkan dalil yang terperinci untuk tujuan kemaslahatan kehidupan yang
bernuansa eklogis. Dengan demikian fikih reklamasi pantai merupakan panduan normatif dalam
pelaksanaan reklamasi pantai yang bernuansa ekologis dan kelanjutan.
Pertimbangan dalam kegiatan reklamasi tidak hanya bertujuan pada pembangunan
ekonomi, tetapi juga harus mempertimbangan kemaslahatan yang berbasis ekologis.
Tanpa adanya kehati-hatian dalam proyek reklamasi pantai, dampak negative akan
dirasakan para nelayan dan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, fikih reklamasi
pantai dikonstruksikan dalam aspek berikut:
Pemanfaatan Wilayah Pesisir Perspektif Fikih Lintas Mazhab
Dalam literatur fikih klasik, sejatinya terkait
dengan pemanfaatan wilayah pesisir telah dibahas para fuqoha meskipun tidak
secara spesifik khusus reklamasi. Term yang digunakan para fukaha klasik
dikategorikan sebagai proses ihya al sahil (menghidupkan pantai).
Terkait hal ini, fukaha lintas mazhab memberikan pendapat yang berbeda-beda.
Minimal ada dua kelompok dalam menjelaskan hukum pemanfaatan wilayah pesisir. Pertama,
kelompok yang berpendapat bahwa mengelola pantai dibolehkan selama tidak
memberikan mudarat bagi masyarakat umum dan mengajukan permohonan izin secara
procedural kepada pemerintah sebagai spihak pemangku kebijakan (waliy al amr).
Pendapat ini dikemukakan oleh fukaha mazhab hanafiyah dan sebagian mazhab
syari'ah. Kelompok kedua
berpendapat sebaliknya. Menurut pendapat ini bahwa pemanfaatan wilayah
pesisir tidak dipeerbolehkan secara syara’. Pedapat ini diamini Ibn Hajaj dari
kalangan malikiyah. fukaha syarfi’iyah menurut qaul al asah dan mazhab hanabilah. Para
fukaha berargumen bahwa sawahil (wilayah pesisir) tidak dapat dimiliki
secara individu, karena itu termasuk kepemilikan umum (al huquq al ammah).
Karena wilayah pesisir harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan public, maka
izin pemanfaatan kepada pihak-pihak tertentu secara individu akan melanggar
hak-hak masyarakat umum.
Menurut Yafi’ dalam disertasinya, bahwa
jika dikaji lebih jauh, ia lebih memilih (mentarjih) pendapat kedua. Hal ini
karena wilayah pesisir menjadi kebutuhan masyarakat umum dan pihak pemerintah
untuk membangun fasilitas umum yang dapat bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat secara luas. Larangan ini, bukan berarti larangan untuk memanfaatkan
pantai secara mutlak, tetapi masih terbuka untuk memanfaatkan secara individu
sengan cara menyewa dalam jangka waktu tertentu.
Reklamasi Pantai Wajib Studi Kelayakan AMDAL
Kegiatan
reklamasi pantai, diakaui atau tidak, memiliki dampak negatif dan positif.
Untuk meminimalisasi dampak negative reklamasi pantai baik dari aspek fisik,
ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya serta mengoptimalkan dampak positif, maka
harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan yang matang. Oleh
karena itu, dalam hal ini dibutuhkan kajian mendalam tentang dampak ekologis
setiap proyek reklamsi pantai yang melibatkan banyak pihak dan interdisiplin
ilmu serta didukung terknologi canggih.
Reklamasi bukan praktek yang sempurna.
Selain mambawa keuntungan, reklamasi juga bisa mengakibatkan berbagai dampak
negative terhadap sosial dan lingkungan kawasan. Oleh karena itu, sebelum
kegiatan reklamasi dilaksanakan, mutlak diperlukan dukungan studi dari berbagai
aspek kajian. Seperti aspek sosial budaya, aspek ekonomi, aspek lingkungan,
aspek teknis, aspek transportasi dan lain sebagainya. Rencana reklamsi
seyogyanya masuk dalam dokumen penataan ruang yang memiliki kekuatan hukum yang
kuat dan mengikat (perda, peraturan presiden atau PP). tahapan pembangunan
harus jelas dan konsisten. Reklamasi pantau juga bukan prektek yang terlarang
karena reklamasi dapat direkomendasikan sebagai salah satu alternatif
pembangunan, khususnya untuk mencari ruang yang sesuai dan layak (appropriate)
Kajian
yang cermat dan komprehensif menghasilkan arean reklamasi yang aman dan tidak
merusak lingkungan. Lebih dari itu, karena lahan reklamsi pantai berada di
daerah perairan, maka prediksi dan simusasi perubahan hidrodinamika saat pra,
dalam masa pelaksanaan proyek dan pasca reklamasi serta sistem drainasenya juga
harus diperhitungkan secara matang dan terpadu.
Intinya, pelaksanaan reklamasi pantai
harus diperhitungkan secara komprehensif. Hal ini untuk menghindari efek
negative berupa kerusakan ekosistem laut yang tidak diinginkan. Tanpa adanya
studi kelayakan yang mendalam dan komprehensif terhadap dampak yang timbulkan
reklamasi pantai bagi lingkungan sekitarnya, niscaya reklamasi tidak akan
mendatangkan kemaslahatan, tetapi justru akan mendatangkan petaka baru bagi
masyarakat pesisir. Dengan demikian, studi AMDAL merupakan jaminan keselamatan
lingkungan secara ilmiah pasca dilakukannya proyek reklamasi.
Reklamasi Berbasis Analisis Maslahat
Penetapan
hukum dalam islam terkait reklamasi harus berdasarkan pertimbangan asas
kemaslahatan dan kemudharatan yang ditimbulkan dari kegiatan reklamasi pantai,
baik ditimbang dari aspek positif begatif. Oleh karena itu, secara normative
hukum reklamasi pantai pada dasarnya dibolehkan, selama tidak mendatangkan
kerusakan lingkungan, dilakukan secara ramah lingkungan dan dengan perencanaan
yang komprehensif. Hal ini berdasarkan kaidah “al asf fi al ashya al ibahah”
(segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan, termasuk reklamasi pantai). Disini, kebolehan itu hanya bila hasil reklamasi digunakan untuk kepentingan
publik dan dikelola pemerintah. Adapun bila reklamasi dikuasai oleh individu
atau korparasi tertentu kepentingan kaum kapitalis, hukum reklamasi menjadi
terlarang. Hal ini karena kebijakan reklamasi merupakan kewenangan dan hasil
ijtihad pemimpin dalam pengelola wilayah pesisir pantai berdasarkan kepentingan
publik (kemaslahatan ummah).
Sebaliknya,
jika proyek reklamasi pantai berpotensi mendatangkan kerusakan lingkungan pantai
yang lebih besar dari pada mendatangkan kemaslahatan yang hendak di capai, maka
hukumnya menjadi terlarang (haram). Oleh sebab itu, pemimpin tidak boleh
mengambil kebijakan untuk melakukan reklamasi pantai selama tidak mendatangkan kemaslahatan baik dari aspek ekonomi, sosial
maupun ekologi. Disini berlaku kaidah “tasarruf al iman ‘ala al ra’iyah
manut bi al maslahah” (kebikajan pemerintah terhapad rakyatnya didasarkan
pada kemaslahatan).
Berbeda halnya, jika dalam reklamasi
pantai tersebut mengandung sisi kemaslahatan dan kemudharatan secara berimbang,
maka dalam kondisi sperti ini berlaku kaidah fikih “dar’u al mafasid
muqadddam ‘ala jalb al masalih” (menghindari mafsadat lebih didahulukan
atas mendatangkan maslahat). Artinya, meskipun dalam reklamasi pantai terdapat kemaslahatan seperti
pemekaran wilayah, menjadi wahana rekreasi wisata bahari dan lain sebagainya,
tetapi bahaya yang ditimbulkan seperti kerusakan ekosistem pantai, penurunan
keanekaragaman hayati, hingga penurunan pendapatan nelayan itu lebih
diperhitungkan. Itu sebabnya, dalam kondisi tersebut dianjurkan untuk tidak
dilakukan reklamasi pantai demi menghindarkan bahaya dan kerusakan pantai serta
ekosistemnya yang akan ditimbulkan.
Berangkat dari sini, maka analisis
maslahatan menjadi urgen dalam penetapan hukum reklamasi pantai. Prinsip
kemaslahatan yang menjadi barometer dalam penentuan dibolehkan melakukan
reklamasi atau tidak berdasarkan pada kajian akademik yang mendalam dan
komprehensif terhadap dampak yang akan ditimbulkannya. Kajian ilmiah dalam
studi kelayakan kegiatan reklamasi ini menjadi pertimbangan maslahat-mafsadat
dalam dalam penentuan hukum fikih yang bernuansa ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Kemaslahatan yang diperhitungkan di sini, tidak hanya dari segi ekonomi
dan sosial, tetapi juga kemaslahatan individu tetapi kemaslahatan publik yang
menjadi pertimbangan. Itu sebabnya, reklamasi yang diperuntukkan untuk
kepentingan individu atau koperasi tertentu dalam hukum islam dilarang,
sebaliknya bila untuk kepentingan publik, seperti pelabuhan, tempat isata dan
kebutuhan public lainnya, secara hukum islam diperbolehkan selama melalui
kajian AMDAL yang trasnparan dan akuntabel.
Relamasi Harus Seizin Pemerintah
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2014 atas perubahan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, mengamanatkan pasal 34 bahwa
reklamasi di wilayah pesisir dan pulau kecil dilakukan untuk meningkatkan
manfaat dan nilai tambah dari aspek teknis, lingkungan dan sosial ekonomi.
Untuk menghindari dampak negative kegiatan reklamasi pantai, maka Perpres Nomor
122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah pesisir dan pulau kecil telah
mengatur ketentuan-ketentuan mulai dari aspek pertimbangan, ketentuan izin
lokasi reklamasi, hingga ketentuan izin pelaksana reklamasi. Terlebih lagi hal
kewenangan izin, telah diatur dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang perizinan. Reklamasi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Kewenagan pemberian izin reklamasi di kawasan strategis
nasional, kawasan lintas provinsi, kawasan pelabuhan perikanan dan objek vital
itu dikelola pemerintah.
Diperlukan adanya ketegasan pemerintah
dalam mengawasi pembangun dan penerbitan regulasi srategis terhadap penataan
ruang di perkotaan terutama di daerah pesisir. Karena kelestarian laur dan
pantai harus dijadikan prioritas dalam berkelanjutan nafas ekosistem di
dalamnya. Reklamasi pantai harus berdasarkan pertimbangan asas
maslahat-mafsadat dan seizing pemangku kebijakan yang dalam hal ini adalah
pemerintah setempat. Dalam hal kewajiban taat kepada kebijakan regulasi yang
ditetapkan pemerintah ini berlaku kaidah fikih “hukm al hakim ilzam wa
yarfa’u al khilaf” (keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan
dan menghilang perbedaan pendapat), termasuk kewajiban izin pelaksanaan
pengeruk dan reklamasi pantai.
KESIMPULAN
Pengertian
reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang
artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Tujuan
dari adanya reklamasi menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang
Reklamasi Pantai yaitu untuk menjadikan kawasan berair yang rusak atau belum
termanfaatkan menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat.
Tata
ruang kawasan reklamasi pantai harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan
budaya di kawasan rekalamsi, sebagai berikut:
a.
reklamasi
pantai memberikan dampak perairan pada pola kegiatan sosial, budaya dan ekonomi
maupun habitat ruang perairan masyarakat sebelum direklamasi.
b.
aspek
sosial, budaya, wisata dan ekonomi yang diakumulasikan dalam jaringan sosial,
budaya, pariwisata, dan ekonomi kawasan reklamasi pantai memanfaatkan runag
perairan atau pantai.
fikih
lingkungan diartikan sebagai seperangkat norma-norma tentang perilaku ekologis
manusia yang ditetapkan oleh ulama berkompeten berdasarkan dalil yang
terperinci untuk tujuan kemaslahatan kehidupan yang bernuansa eklogis.
fikih
reklamasi pantai dikonstruksikan dalam aspek berikut:
a.
Pemanfaatan
Wilayah Pesisir Perspektif Fikih Lintas Mazhab
b.
Reklamasi
Pantai Wajib Studi Kelayakan AMDAL
c.
Reklamasi
Berbasis Analisis Maslahat
d.
Relamasi
Harus Seizin Pemerintah
DAFTAR PURTAKA
Akib, Muhammad,
kedaulatan lingkungan dan implikasinya terhadap perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut, kumpulan tulisan dalam sebuah buku membangun paradigm
kemaritiman Indonesia, Sai Wawai Publishing, Bandar Lampung, 2014.
Amiruddin A.,
Dajan Imam, hukum penataan ruang kawasan pesisir harmonisasi dalam
pembangunan berkelanjutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Azizy, A.
Qodri, Elektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum
Umum Yogyakarta: Gama Media, n.d..
Al Mahdi, Muhammad,
al fatawa al mahdiyah fi al waqa’I al misriyah, vol. V (Mesir: al
azhariyah, 1301), hlm. 314. ; Muhammad al khatib al syirbini, mughni al
muhtaj ila ma’rifat alfat al minhaj, vol. II, mesir: Mustofa al babi al
halbi, 19580.
Al zuhaili, Wahbah,
ushul al fiqh al islami, juz II (Dar al fikr, Beirut, 1987), hlm. 900.
Lihat juga, abd al Rahman Ibn Salih al abd al latif, al qawa’id wa al
dawabit al fiqhiyyah al mutadamminah li taisur, Al jamiah al islamiyah, Madinah,
2003.
Abdurahman Ibn
Ahmad Ibn Fayi, ahkam al bahr fi al fiqh al islami, Dar al andalus al
khadra, 2000.
Abd al Rahman
Ibn al abd al latif, al qawa’id wa al dawabit al fiqhiyyah al mutadamminah
li al taisur, al jaimah al islamiyah, Madinah, 2011.
Al abdari, Abu Abdulah al abdari abu Abdullah, al madhkal, Dar al Hadist, Mekkah, 1981.
El dusuq , Fajar,
ekologi al qu’an mengagas ekoteologi integralistik, jurnal kaunia IV, no.
2, 2008.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
22 Tahun 2011 Tentang Pertambangan Ramah Lingkungan.
Huda, Moch.
Choirul, “Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap Perlindungan
Lingkungan Hidup,” Jurnal Perspektif XVIII, no. 2, May 2013.
Kamal, Babra,
reklamasi dan kepentingan capital, opini online dalam berdikari online. Com,
n.d. rabu, 11 Agustus 2016.
Khallaf, Abd Wahhab, ‘Ilm Uṣūl
Al-Fiqh Dar al-Qalam, Kuwait, 1978.
Ruchyat Deni
Djakapermana & M, Eng, reklamasi
pantai sebagai alternatif pengembang kawasan, Direktorat Jendral Penataan
Ruang Kementrian Pekerja Umum, 2010.
Silalahi, M.
Daud, pengaruh hukum sumber daya air dan lingkungan hidup di Indonesia, Alumni,
Bandung, 1996.
Salim, Peter, advanced
English-indonesia dictionary, (Modern English Press, Jakarta, 1989)
Salim, Peter
& Yenny Salim, kamus bahasa Indonesia komtemporer, Modern English Press,
Jakarta, 2001.
Suhendra, Ahmad, menelisik
ekologis dalam al qur’an, jurnal esensia XIV, No.1, 2013.
Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup Antasari
Press, Banjarmasin, 2011.
Wekke, Ismail
Suardi, “sasi masjid dan adat: praktik konservasi lingkungan masyarakat
minoritas muslim raja ampat”, al tahrir, jurnal pemikiran islam IAIN
Ponorogo 15, no. 1, 2015.
Yafi, Abdurahman
Ibn Ahmad Ibnu, ahkam al bahr fi al islam ,(Dar al andalus al khara,
Jeddah, 2000.
Komentar
Posting Komentar