Apakah Pendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan?

 

Pendidikan nasional memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah berakhlak mulia dan kreatif. Sebagaimana di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang berbunyi “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Di dalam Undang-Undang ini sebutkan beberapa kecakapan yang sangat bagus dalam membimbing peserta didik untuk beriman kepada Allah, terampil dan kreatif sehingga dapat hidup mandiri.

Namun, pada kenyataannya malah sebaliknya. Pendidikan nasional sekarang lebih berorientasi kepada pekerjaan sehingga peserta didik yang sukses adalah yang bekerja di perusahaan ternama dan itu menjadi kebanggan sekolahnya. Hal ini yang sungguh menyedihkan, karena untuk apa sekolah tinggi-tinggi tetapi malah menjadi bawahan para aseng dan asing. Padahal keterampilan dalam bekerja bisa saja di dapatkan di kelas-kelas privat atau sekarang yang tengah banyak di pakai adalah dengan online seperti Zenius, Ruang Guru dan lain sebagainya. Orang tua pun menyekolahkan anaknya dengan tujuan untuk bekerja di perusahaan yang keren dengan harapan anaknya itu dapat mendapatkan uang banyak dan dapat mencapai kebahagian. Itulah ciri-ciri orang tua yang materialis dan melihat kebahagiaan hanya dari sudut pandang yang sempit. Dari situ ,timbul lah manusia-manusia yang materialis dan lupa akan kewajibannya kepada Sang Khaliq.

Menurut islamic worldiew, tentu cara pandang diatas kurang tepat karena hakikat tujuan pendidikan adalah menuju terbentuknya insan yang beradab atau man of adab. Dalam cara pandang islam, seorang yang berpendidikan merupakan orang yang shaleh dan baik atau Al Attas menyebutnya a good man. Istilah baik ini diartikan bahwa orang yang beradab. Orang yang beradab ini adalah orang yang secara ikhlas menyadari bahwa ia memiliki kewajiban yang harus dipenuhi terhadap Allah, memuhi kewajiban untuk dirinya sendiri dan orang lain dengan melakukan keadilan. Kemudian, melakukan berupaya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi hingga mencapai kesempuraan sebagai orang yang beradan dan menjadi ulul albab. Dengan tercapainya manusia yang beradab maka, ia akan mengapai sa’adah di dunia akhirat.

 Islam tidak melarang manusia untuk bekerja, tetapi seorang muslim diharapkan untuk tidak menjadi folower. Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjadi leader dan mengembangkan kreatifitasnya sebagai manusia yang berfikir. Seorang muslim dituntut untuk menjadi leader peradaban, karena peradaban itu maju bukan dari materinya tetapi dari manusianya. Ketika seorang muslim menjadi follower bagi perusahaan “barat” atau mempunyai cara pandang yang terbaratkan, maka ia malah mengembangkan hegemoni barat tersebut. Namun, ketika ummat islam dapat mandiri dalam segala hal tanpa bergantung kepada pihak luar, itulah yang menjadikannya kuat. Hal ini senada dengan tujuan islah yang diusung oleh Al Ghozali dan Abdul Qadir al Jilani, yaitu memperbaiki dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu menghamba kepada Allah dan berbuat baik. Jika individu di dalam sebuah peradaban telah mencerminkan pribadi yang beradab dan mandiri maka, peradaban itu akan menjadi peradaban yang unggul.

 

 

Komentar

Postingan Populer