Pendidikan Islam itu Tarbiyah atau Ta'dib?
secara etimologis, kata pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan). Dengan ditambah imbuhan “pe-an” yang menyatakan proses, maka pendidikan adalah proses atau cara mendidik.
Dalam bahasa arab, ada yang semakna dengan pendidikan, yaitu tarbiyah. Kata tarbiyah merupakan kata benda dari rabba yang memiliki beberapa makna, yaitu pertama, memperbaiki dan merubah menjadi lebih baik, dalam hal ini pendidikan berusaha untuk mendidik murid agar menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dalam segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini menekankan bahwa pendidikan menekankan perubahan lebih baik. Kedua, peningkatan dan bertambah, pendidikan tidak hanya merubah menjadi lebih baik tetapi juga berusaha untuk meningkatkan potensi murid semaksimal mungkin dan bertambah wawasan keilmuannya. Ketiga, merawat dan berkembang dalam artian bahwa pendidikan memelihara murid dalam sifat fisik. Keempat, pengajaran atau at Ta’līm.
Selain tarbiyah, dalam bahasa Arab terdapat padanan kata yang diartikan pendidikan, yaitu ta’līm. Kata ta’līm mengandung makna menyampaikan ilmu pengetahuan, memperoleh pengetahuan dan keahlian berfikir. Term ini lebih menekankan kepada aspek kognitif dan lebih khusus dari kata tarbiyah. Sebagaimana Muhammad Athiyah al Abrasy mendefinisikan ta’līm sebagai upaya mendidik individu-individu dengan menekankan kepada aspek-aspek tertentu.
Menurut al Attas, kata tarbiyah merupakan istilah yang baru digunakan oleh para sarjana muslim yang telah bercampur dengan pemikiran modernis tanpa mengacu kepada istilah yang tepat. Ini disebabkan telah terjadi sekularisasi dan kekeliruan dalam meletakkan makna sesuai pada tempatnya. Hal ini dapat dilihat dari pemaknaan education yang berasal dari bahasa latin educare dan educatio yang diartikan mengembangkan potensi dan bringing out. Dari kedua makna ini menegaskan tentang proses yang bersifat fisik dan materi sebagaimana yang dikembangkan dari spekulasi filosofis tentang etika untuk mencapai secular man and state. Istilah tarbiyah yang disejajarkan dengan term education merefleksikan framework barat tentang pendidikan yang mana lebih menekankan kepada aspek lahiriyah. Kemudian al Attas menguatkan argumennya dengan menyatakan bahwa term tarbiyah yang dipahami saat ini tidak ditemukan dalam leksikon bahasa arab seperti disebutkan oleh al Jahwari yang mendefinisikan tarbiyah dengan memberi makan dan memelihara segala sesuatu yang tumbuh kembang seperti manusia, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Hal ini bersimpangan dengan konsep pendidikan Islam yang merujuk hanya kepada manusia. Al Attas menilai problematik term tarbiyah yang disejajarkan dengan pendidikan Islam . Al Attas lebih menempatkan istilah tarbiyah untuk kepemilikan orang tua terhadap anaknya dengan memberikan pendidikan dan memeliharanya. Kepemilikan disini dimaksudkan hanya jenis dari relasi antara keduanya, karena kepemilikan yang sejati hanya milik Allah SWT.
Selain itu, al
Attas memberikan contoh tentang gagasannya tentang term tarbiyah sebagaimana
dijelaskan dalam surah al Isra (17): 24;
وَاخْفِضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي
صَغِيْرًا
Artinya: dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penu
h kasih
sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku sayangilah keduanya sebagaimana mereka
berdua telah mendidik ku pada waktu kecil”.
Menurut al Attas, kata rabbayani
dalam surah diatas dimaknai sebagai rahmah dan signifying mercy. Hal
ini dimaksudkan bahwa orang tua telah memelihara dan menyayangi anak dengan
memberikan sandang, pangan dan papan. Konsep ini juga menyatakan bahwa
ketika Allah SWT disebut dengan rabb, maka dengan rahman dan rahim
Nya memberikan segala kebutuhan ciptaan Nya. Jadi secara umum, konsep tarbiyah masih
bersifat umum dan hanya menekankan kepada lahiriyah.
Selain tarbiyah, bahasa arab juga mempunyai istilah ta’dīb yang lebih holistik dan unik karena berdasarkan worldview Islam. Sebagaimana al Attas yang menekankan penggunaan kata ta’dib karena strukturnya telah mencakup tarbiyah dan ta’līm. Kata ta’dib sendiri berasal dari adab yang bermakna membuat jamuan dan mengundang kepada perjamuan. Selaras dengan sebelumnya dalam lisan ‘arab dijelaskan bahwa adab berarti mengundang dan mengajak manusia kepada kebaikan dan menjauhkannya dari keburukan. Sedangkan al Jurjani memberikan porsi yang sama antara adab dan ma’rifah, yaitu ilmu pengentahuan khusus yang mencegah manusia yang memilikinya terhindar dari berbagai bentuk kekeliruan. Dalam sejarahnya, kata adab merefleksikan islamisasi bahasa dari pra-islam atau jahiliyah kepada zaman sekarang dengan cara menambahkan elemen-elemen spiritual dan intelektual didalamnya. Dengan kata lain, terdapat nilai-nilai baru yang dibawa oleh Islam dalam memaknai bahasa arab dan mengakomodir nilai lama yang sesuai dengan worldview Islam.
Nasrat Abdul Rahman berusaha mengumpulkan beberapa makna adab pra-islam dari berbagai syair jahiliyah yaitu; pertama, adab digunakan dengan lautan yang berarti: gelombang laut dan limpahan airnya. Kedua, adb atau idb digunakan untuk menggambarkan sesuatu hal yang luar biasa (marvellous) dan ketiga, adab أۤدب digunakan untuk seorang penyelenggara sebuah jamuan untuk para tamu. Dalam konteks yang baru, al Qur’an dianggap sebagai undangan Allah SWT yang diperuntukkan kepada manusia untuk menghadiri jamuan diatas muka bumi, sebagaimana dijelaskan dalam al Hadist: إِنَّ هَذَا القُرْأنَ مَأْدَبَةُ اللهِ فَتَعَلَّمُوْا مِنْ مَأْدَبَتِ. Al Attas menjelaskan bahwa al Qur’an adalah undangan Allah SWT kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian dengan cara mentadaburi dan menikmati nilai-nilai Islam yang terkandung dalam al Qur’an sebagai sumber ilmu.
Berdasarkan pembahasan diatas, kemudian al Attas mendefinisikan adab yaitu pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwa segala sesuatu termasuk ilmu mempunyai kedudukannya masing-masing sesuai dengan tingkatan serta seorang individu mempunyai kapasitasnya masing-masing dalam kaitannya dengan potensi fisik, intelektual dan spiritualnya. Maksud pengenalan adalah mengenal kembali perjanjian asali (primodial convinent) antara manusia dan Allah SWT, sedangkan pengakuan adalah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dikenali. Salah satu contohnya, bagaimana adil terhadap diri sendiri ketika manusia sadar dan mengetahui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu unsur ‘aqli dan hayawani. Apabila manusia meletakkan unsur ‘aqali diatas unsur hayawaninya maka ia dapat mendudukan keduanya sesuai dengan tampat yang semestinya. Keadaan inilah yang disebut keadilan terhadap dirinya. Dengan penjelasan tersebut, pengertian adab tidak hanya sebatas sopan santun, tapi juga menunjukkan bagaimana right action kepada Allah SWT, waktu serta kedudukan segala hal. Itulah sebabnya para sarjana muslim terdahulu selalu bersemangat dalam mencari adab dalam proses menuntut ilmu.
Penjelasan diatas menegaskan bahwa hanya kata ta’dib yang dapat merepresentasikan pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan pendidikan Islam tidak hanya mendidik manusia secara lahiriyah atau fisik saja sebagaimana kata tarbiyah dan kata ta’lim yang sebatas pembelajaran. Pendidikan Islam juga harus mencakup aspek ruhiyah serta mampu menempatkan segala sesuatu berdasarkan worldview Islam. Istilah ta’dib yang komprehensif inilah yang menjadi tawaran alternatif bagi pendidikan modern yang tanpa ruh sebagaimana diungkapkan oleh Harry R. Lewis bahwa pendidikan modern memang telah mampu menciptakan lulusan yang mampu mengembangkan sains dan teknologi mutakhir, tapi tidak mampu menanamkan akhlak dan moral kepada muridnya.
Harvard articulates no ideals of what it means to be a good person
Komentar
Posting Komentar